Banyak Hambatan Jika Penghapusan BBM Subsidi di DKI Jakarta DIjalankan

Penghapusan BBM Subsidi – Wakil Direktur Reform Miner Institute, Komaidi Notonegoro, menjelaskan, wacana yang dilontarkan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama untuk membatasi BBM subsidi di ibukota masih membutuhkan persiapan dan koordinasi yang matang.

“Kebijakan pembatasan oleh pemerintah pusat saja yang telah mempunyai rencana yang jelas tidak jalan,” kata Komaidi saat dihubungi VIVAnews, Rabu 26 Desember 2012.

Menurut Komaidi, pengaturan BBM bersubsidi masuk dalam domain energi nasional dengan kewenangan berada di pemerintah pusat. Apalagi, kebijakan tersebut akan diterapkan di DKI Jakarta, sebagai pusat pemerintahan dan bisnis Indonesia.

Kebijakan ini, dia menjelaskan, akan berdampak pada masyarakat luas, sehingga tidak bisa tergesa-gesa diputuskan. Keputusan pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus sejalan dengan aspek ekonomi makro.

“Selain koordinasi dengan pemerintah pusat, Pemprov DKI perlu berkoordinasi dengan wilayah sekitar untuk mengimplementasikan kebijakan ini. Tidak bisa parsial,” katanya.

Selain itu, penghapusan BBM bersubsidi memerlukan izin dari DPR-RI. Setiap langkah seperti pengetatan kuota BBM bersubsidi harus persetujuan DPR.

DPR selama ini menyetujui kuota setiap daerah yang diusulkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta BPH Migas. Langkah ini, harus juga diikuti oleh Pemprov DKI Jakarta.

“Pemprov DKI Jakarta memberikan masukan kepada DPR mengenai kuota daerahnya, tidak bisa pemda menetapkan sendiri kuota BBM subsidinya,” katanya.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR-RI, Teuku Rifky Harsya, menilai wacana penghapusan premium di DKI Jakarta akan sulit diimplementasikan dan bukan ide baru. Ide ini pernah dibahas dalam rapat kerja Komisi VII dengan pemerintah pusat sebagai salah satu alternatif pengurangan BBM bersubsidi.

“Kami tidak lanjutkan ide tersebut, karena bila diterapkan akan berdampak negatif, baik dari hal teknis maupun dampak sosial ke publik,” kata Teuku .

Politikus Demokrat ini mencontohkan bagaimana dengan pengaturan di kota-kota penyangga DKI Jakarta seperti Bekasi, Bogor, Banten, dan Tangerang. Kawasan penyangga akan kewalahan dengan serbuan dan antrean pembelian premium di SPBU-SPBU sekitar perbatasan.

“Belum lagi para pengelola SPBU DKI Jakarta pasti juga akan protes, karena merasa dirugikan,” kata pria asal Aceh ini.

Solusi paling tepat, dia menambahkan, adalah menaikkan harga premium menjadi Rp6.000-6.500 per liter, dengan jaminan ketersediaan pasokan BBM subsidi setiap saat. Selain itu, ia meminta Pemda DKI Jakarta untuk memperbaiki transportasi publik.

Namun, jika Pemda DKI Jakarta berhasil memberikan solusi dari dampak negatif teknis maupun sosial, Komisi VII DPR-RI akan mendukung. (Ref:art/viva)